Selasa, 10 November 2015

Hari Pahlawan 10 November

Selamat Hari Pahlawan Indonesia!
Mengapa 10 November diperingati sebagai hari pahlawan? Ada apa dengan tanggal tersebut? Jadi pada tanggal 10 November 1945 telah terjadi pertempuran antara rakyat Indonesia dengan pasukan Belanda di kota Surabaya, Jawa Timur. 
Ini merupakan pertempuran pertama setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan termasuk pertempuran terbesar dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesiayang menjadi simbol atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme. Flashback sebentar yuk! Kita cari tahu asal muasal pertempuran ini terjadi.

Gambar cuplikan dari film Battle Of Surabaya

Bermula dari kedatangan tentara Jepang ke Indonesia 1 Maret 1942, tentara jepang mendarat di Pulau Jawa. Tujuh hari kemudian tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah tanpa syarat pada Jepang berdasarkan Perjanjian Kalijati. Setelah penyerahan tersebut Indonesia resmi diduduki oleh Jepang.

Tiga tahun kemudian(Agustus 1945) Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom oleh Amerika Serikat di Kota Hiroshima dan Nagasaki. Dalam kekosongan kekuasaan tersebut lalu pada tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.

Setelah kekalahan Jepang, rakyat Indonesia berupaya melucuti senjata miliktentara Jepang. Maka timbullah pertempuran di berbagai daerah. Kemudian tentara  Inggris mendarat di Jakarta pada tanggal 15 September 1945 dan di Surabaya tanggal 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan tawanan perang yang ditahan  Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun  tentara Inggris juga datang membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. NICA(Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng Inggris untuk misi tersebut. Hal ini memunculkan perlawanan rakyat Indonesia terhadap AFNEI dan NICA.

Berdasarkan maklumat pemerintah tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan mulai 1 September 1945 Sang Saka Merah Putih akan terus dikibarkan di seluruh wilayah Indonesia. Puncak dari gerakan pengibaran Sang Merah Putih di Surabaya adalah terjadinya perobekan bendera di Yamato Hoteru/Hotel Yamato di Jalan Tunjungan 65 Surabaya(pada zaman colonial bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye dan sekarang bernama Hotel Majapahit).

18 September 1945, tanpa persetujuan pemerintah RI sekelompok orang dibawah pimpinan Mr. Ploegman mengibarkan bendera Belanda(merah-putih-biru) di tiang lantai teratas Hotel Yamato sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya marah Karen menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak menguasai Indonesia kembali dan melecehkan gerakan pengibaran bendera yang berlangsung di Surabaya.

Residen Sudirman yang saat itu menjabat sebagai wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintahan Dai Nippon Surabaya Syu, juga sebagai Residen Daerah Surabaya, datang melewati  kerumunan massa dan masuk ke Hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sudirman berunding dengan Ploegman dan kawan-kawannya untuk meminta agar bendera Belana segera diturunkan dari Hotel Yamato. Namun Ploegman menolak untuk menurunkan benderanya dan mengakui kedaulatan  Indonesia. Perundingan memanas, Poegman mengeluarkan pistol terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga. Sudirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda naikke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono lalu masuk kembali ke dalam hotel. Bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek warna biru menjadi merah putih saja dan mengibarkan kembali bendera tersebut sebagai bendera merah putih.

27 Oktober 1945, setelah insiden di Hotel Yamato, terjadilah pertempuran pertama antara Indonesia dengan Inggris. Serangan kecil tersebut semakin banyak memakan korban hingga akhirnya Jenderal D.C. Homthorn meminta bantuan Soekarno untuk meredakan situasi ini.
Kematian Brigadir Jenderal Mallaby

29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Namun bentrokan antar Indonesia dengan pasukan Inggris tetap terjadi di Surabaya. Bentrokan senjata di Surabaya memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby(pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur)30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia. Terjadi kesalahpahaman yang mengakibatkan tembak menembak. Mallaby tewas oleh tembakan pemuda Indonesia yang tidak diketahui identitasnya dan ledakan granat menyebabkan jenazah Mallaby suit dikenali. Ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada Indonesia.

Setelah terbunuhnya Mallaby,  penggantinya, Mayor Jenderal E.C. Mansergh,mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia ang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang telah ditentukan dan menyerahkan diri diri dengan mengangkat tangan. Batas ultimatum adalah jam 06.00 tanggal 10 November 1945. Ultimatum tersebut dianggap menghina para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak badan perjuangan/milisi. Ultimatum tersebu kemudian ditolak oleh Indonesia karena Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri dan TKR(Tentara Keamanan Indonesia) sudah dibetuk sebagai pasukan negara. Selain itu banyak organisasi masyarakat termasuk mahasiswa dan pelajar menentang kembalinya pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris.

10 November 1945pagi, tentara Inggris mulai meluncurkan serangan besar , yang diawali dengan bom udara ke gedung pemerintahan Surabaya, mengerahkan sekitar 30000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang. Berbagai bagian kota Surabaya dibombardir dan ditembak meriam dari darat dan lau. Perlawanan pasukan dan misili Indonesia berkobar di seluruh kota dengan bantuan penduduk. Terlibatnya penduduk mengakibatkan berjatuhan korban dari warga sipil.
Para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat para pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan besar Inggris. Tokoh agama seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan. Perlawanan rakyat yang awalnya spontan dan tidak terkoodinasi makin hari makin teratur. Pertempuran ini memakan waktu tiga minggu sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan Inggris. Kurang lebih 6000 pejuang dari Indonesia tewas  dan 200000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Korban dari Inggris dan India kira-kira 600 orang.


Pertempuran berdarah di Surabaya telah menggerakkan perlawanan-perlawanan di seluruh Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dan mengusir penjajah. Banyaknya pejuang yang gugur pada 10 November 1945 ini kemudian dijadikan sebagai hari pahlawan 10 November  yang diperingati hingga hari ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar